PENDIDIKAN BUKAN
PEDIDIKAN
Pada
era globalisasi dan modernsasi yang ada di waktu kita sekarang, kita tak bisa
keluar dari rana tersebut, yang ada kita berjalan di tengah-tengah perubahan
trsebut. Ketika kita berbicara tentang globalisasi dan modernisasi kita bisa
menyimpilkan berbagai pandangan dengan sudut yang berbeda.
Globalisasi
adalah suatu paham tentang perubahan rana yang terkait dengan semua aspek
kehidupan. Globalisasi ini terjadi ketika sebuah nilai dan norma yang ada di
lingkungan masyarakat telah hilang dan sudah tidak ada sosialisasi yang
transparan tentang sebuah nilai dan norma yang sesunggunya.
Hal
ini akan dialami oleh semua kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan
yang ada dalam sekitarnya. Sebuah perubahan yang seharusnya tidak terjadi,
karena dengan perubahan tersebut telah menimbulkan dampak yang disasosiatif dan
disfungsi. Ketika sesuatu masalah bisa merusak tatanan yang ada dalam
masyarakat maka dalam masyarakat tersebut telah mengalami masa transisi nilai
dan norma.
Dimana
ketika nilai dan norma itu mengalami masa transisi maka masyarakat yang berada
dalam norma dan nilai tersebut automatis telah mengalami masa transisi juga.
Dimana ketika masyarakat tersebut merasa ada perubahan maka mobilitas terjadi
dalam masyarakat tersebut.
Ketika
berbicara akan mobilitas maka kita teringat hal dasar pada apa itu sosiologi?.
Mobilitas sosial didefinisikan sebuah perubahan status sosial yang dialami
masyarakat tertentu. Mobilitas sosial yang melekat pada masyarakat terjadi
karena tingkat perekonomian, pendidikan dan kekuasaan yang mereka sandang di
dalam lingkup tertentu.
Mobilitas
tersebut akan mengakibatkan akan adanya strata-strata dalam masyarakat yang
mengalami perubahan sosial. Berbicara stratifikasi sosial tidak lepas dengan
struktur fungsional milik parsons. Menurut parsons masyarakat merupakan sistem social yang terdiri atas bagian-bagian atau
elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan
yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap perubahan
yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem social,
fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka akan ada
atau akan hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini cenderung untu melihat
hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang laindan
karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau sistem yang lain
dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem social.
Secara ekstrim penganut teoriini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua
struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dengan demikian pada tingkat
tertentu umpanya peperangan, ketidaksamaan social, perbedaan ras bahkan
kemiskinan “diperlukan” dalam suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara
perlahan-lahan dalam masyarakat. Kaiau terjadi konflik, penganut teori
fungsionalisme structural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Ada tiga hal yang berkenanan dengan
perubahan sosial, pertama, bagaimana ide-ide mempengaruhi perubahan-perubahan
sosial. Kedua,bagaimana tokoh-tokoh besar dalam sejarah menimbulkan perubahan
besar di dalam kalangan masyarakat. Ketiga, sejauh mana peran gerakan-gerakan
sosial dan revolusi menimbulkan perubahan sturktur sosial dan norma-norma
sosial.
Berbicara perubahan sosial yang di
pengaruhi karena ide-ide yang ada dalam masyarakat dan menimbulkan sebuah
ideologi-ideologi yang kuat, dengan ideologi-ideologi tersebut akan memunculkan
tingkat intelektualitas yang tinggi di masyarakat. Intelektualitas yang muncul
akan membawa masyarakat merubah sistem sosial mereka, akan tetapi
intelektualitas, ide-ide dan ideologi-ideologi tidak akan muncul dengan
sendirinya akan tetapi harus menggunakan alat bantu atau alat produksi yaitu
sebuah institusi pendidikan.
Berbicara tentang pendidikan,
pendidikan adalah salah satu utama dari beberapa aspek tentang akan adanya
perubahan status sosial masyarakat. Pendidikan adalah sebuah alat reproduksi
tentang dimana masyarakat akan mengalami perubahan di awali dengan perubahan
cara berfikir dan ide-ide yang terkonstruk ketika mereka berada dalam
pendidikan yang sejati. Jika kita berbicara akan pendidikan kita harus mengerti
makna akan pendidikan tersebut, paulo freirre memaknai pendidikan dalam bukunya
ilmu politik pendidikan adalah pendidikan adalah humanisme dimana definisi
sederhana yang menyakatakan pendidikan adalah alat produksi untuk memanusiakan
manusia.
Banyak pemikiran yang ada dalam otak
kita, pendidikan apa yang bisa memanusiakan manusia?, sebuah pertanyaan muncul
dalam pikiran kita, apakah manusia ini belum sutuhnya menjadi manusia?
Pendidikan yang didefinisikan oleh
paulo freire adalah pendidikan humanisme. Humanisme di bangun oleh freirre
melalui filsafat pendidikan yang di tulis, dimana humanisasi adalah pilihan
mutlak. Humanisasi adalah salah satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena
walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi disepanjang sejarah
peradaban masyarakat dan tetap kemungkinan menjadi ontologis di masa mendatang.
Maka tugas pendidikan yang sejatinya
harus merubah meansheet para masyarakat yang telah mengalami masa transisi
moral pendidikan yang ada saat ini. Dimana seharusnya pendidikan berjalan
seimbang dengan tatanan norma-norma masyarakat yang ada disekitar. Institusim
pendidikan harus memahami dan belajar akan seberapa besar arti dari nilai
kepribadian.
Pendidikan harus mengajarkan dimana
seharusnya manusia mengetahui dirinya. Pendidikan yang sejatinya adalah membawa
hekekat manusia untuk mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya
dengan bekal pikiran dan tindakan yang akan dilakukan manusia sehinnga manusia
tersebut bisa merubah dunia dan realitas dengan satu cara yakni pendidikan yang
sejati.
Begitu juga dengan
sistem pendidikan yang di anggapnya sebagai salah satu tujuan yang tidak
manusia (dehumanisasi), karena dalam sistem pendidikan terdapat adanya
pemberian suatu ilmu pengetahuan yang dengan sengaja di cekoki oleh guru dalam
memberikan pengajaran yang ada. Pendidikan yang ada saat ini seakan-akan
gambaran dari penindasan dan penjara otak bagi para peserta didik. Dimana
seorang peserta didik hanya sebatas menerima atau menjadi objek dari sistem
pendidikan yang ada. Sehingga kereatifitas, imajinasi, dan skill yang terdapat
dalam diri peserta didik menjadi tidak berkembang dan beku.
Bagi Freire pendidikan
yang seperti ini (seorang guru yang memberikan ilmu pengetahuan dengan sistem
“ceramah”) hanya membuat peserta didik dapat menafsirkan kejadian yang mereka
alami. Tidak mampu merubah realitas yang terjadi terhadap dirinya sendiri.
Seperti apa yang di katakan Freire bahwasanya manusia bukan sebagai objek
realitas kehidupan, akan tetapi sebagai subjek untuk merubah realitas kehidupan
yang terjadi. Dalam pendidikan yang saat ini seorang peserta didik hanya
manjadi wadah, penerima, tempat menampung segala kemauan seorang guru, Seperti
halnya menghafal pelajaran. Sehingga peserta didik merupakan objek kekuasaan
sang guru dan tidak mampu berfikir kreatif dalam merubah realitas hidupnya.
Paulo Freire
menginginkan sistem pendidikan yang ada saat ini tidak mengenal akan namanya
kekuasaan. Di mana sang guru sebagai penguasa dan para peserta didik di
anggapnya sebagai korban dari kekuasaan tersebut. Dia menginginkan peserta
didik sebagai subjek dari dirinya sendiri dalam belajar. Guru yang di katakan
subjek dalam pendidikan harusnya memberikan ruang bagi peserta didik untuk
belajar berfikir sendiri, memberi kebebasan berfikir terhadap peserta didik
tersebut.
Manusia berbeda dengan hewan,
manusia juga memiliki naluri akan tetapi manusia dengan kodrati yang memiliki
kepribadian, eksistensi yang mengartikan bahwa manusia sesunggunya tidak
memiliki batasan untuk berfikir dengan idealisme yang mereka miliki. Disini
pendidikan sangat berperan penting untuk memvisualitaskan tingkat eksisitensi
yang seharusnya manusia miliki ketika mereka sudah memasuki rana pendidikan.
Eksistensialisme, apa
yang terbesit dalam benak kita ketika kita
pertama kali mendengar kata eksistensialisme? Kebanyakan orang akan
berfikir bahwa eksistensialisme itu sama dengan kata eksis yang sering kita
dengar dalam kehidupan sehari-hari yang mana artinya itu selalu ingin
“nampang”, selalu aktif agar terlihat oleh orang lain. Namun ternyata eksistensialisme
disini tidak sama dengan kata eksis yang kita maksudkan. Eksistensialisme yang
dimaksud disini merupakan suatu paham/aliran filsafat tentang suatu kebebasan.
Kebebasan yang dimaksudkan disini yaitu kebebasan manusia untuk mengeksplorasi
kemampuan yang dimiliki untuk diterapkan dalam kehidupannya. Manusia bebas
memilih ataupun menentukan tentang hidupnya sendiri, entah mau dibawa
kemana hidupnya itu, hanya individu itu
sendiri yang tahu. Manusia disini
dianggap sebgai sesuatu yang luar biasa yang tahu segala sesuatu tentang
dirinya, hanya manusialah yang dianggap mampu bereksistensi dalam dunia ini
karena manusia tahu tentang baik,buruk dan tahu mana yang salah dan mana yang
benar walaupun menurut paham ini salah dan benar ini masih bersifat relatif.
Berbicara tentang
eksistensialisme, manusia bebas untuk memilih serta memahami semesta beserta
isinya ini menurut versinya masing – masing. Manusia bebas menafsirkan
bagaimana bentuk bintang, bagaimana ukurannya entah itu besar ataupun kecil
semua itu tergantung dari masing-masing individu dan dari sudut mana ia
memandang. Manusia bebas untuk
mengeksplorasi dirinya tanpa dipengaruhi oleh campur tangan pihak lain selain
dirinya sendiri. Kebebasan itu dapat diwujudkan salah satunya dengan menciptakan
sesuatu apapun itu bentuknya sesuai dengan kehendaknya sebagai wujud kemampuan
yang dimilikinya dan dapay diakui oleh orang lain.
Ajaran eksistensialisme
ini mengajarkan manusia untuk mandiri dan bertanggung jawab dalam kehidupannya
di dunia ini. Misalnya dalam mengambil suatu keputusan dimana individu itu
dihadapkan dengan berbagai masalah dan berbagai pilihan yang harus diambil sedangkan dalam
pengambilan keputusan itu tidak boleh ada intervensi dari pihak lain. Hal
seperti inilah yang akhirnya memaksa manusia berfikir keras untuk menentukan
pilihan – pilihan mana yang akan diambil dimana dalam kehidupan ini berkaitan
dengan moral dan tingkah laku manusia. Perjuangan para eksistensialis pun tidak
berhenti sampai pengambilan keputusan. Mereka harus bertanggung jawab dan
memperjuangkan atas pilihan – pilhan yang telah dibuat dalam kehidupannya.
Sebenarnya seperti itu
pulalah gambaran eksistensialisme pendidikan
yang seharusnya terjadi di Indonesia. Jika kita mengacu pada ajaran
eksistensialisme sebenarnya guru tidak mempunyai hak untuk memaksakan
kehendaknya kepada muruidnya. Guru disini berperan sebagai media belajar
peserta didik dimana guru memberikan peluang pendidikan kepada anak didiknya
untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Guru juga harus menggunakan trik
– trik pengajaran dan pembelajaran berupa aktivitas yang berpusatkan pada anak
didiknya. Untuk itu peserta didik dituntut untuk lebih aktif dalam proses
pembelajran agar peserta didik dapat memaksimalkan peluang yang telah
diberikan. Contoh dalam proses belajar
mengajar, guru tidak mendominasi untuk menentukan materi apa yang akan
diajarkan kepada anak didiknya. Guru terlebih dahulu memberikan
pengarahan/pilihan materi yang akan diajarkan dan selebihnya guru menyerahkan
kepada muridnya untuk memutuskan materi apa yang akan dipelajari. Dari contoh
kasus di atas dapat dikatakan bahwa guru telah menerapkan filsafat
eksistensialisme dalam proses pembelajaran dimana guru telah memberikan
kebebasan kepada peserta didiknya untuk menentukan materi apa yang akan
dipelajari.
Eksistensialisme remaja
dalam mencapai sebuah asa sebenarnya juga sama dengan eksistensialisme dalam
dunia pendidikan. Disini para remaja mempunyai kebebasan untuk menentukan
citi-cita dan cara – cara yang digunakan untuk mencapainya. Sudah jelas
dikatakan dalam UUD 1945 pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia dimana manusia itu
bebas untuk malakukan sesuatu tanpa ada paksaan dari orang lain termasuk orang
tuanya. Tetapi dalam kenyataannya sering
kita jumpai perselisihan antara si anak dan orang tuanya yang
mempermasalahkan tentang cita-cita yang ingin dicapai anaknya. Banyak orang tua
yang menitipkan cita-citanya kepada anaknya manakala anaknya akan memasuki
jenjang pendidikan yang lebih tinggi (kuliah) tanpa melihat sejauh mana kemampuan
anaknya karena orang tuanya merasa mampu dalam hal finansial. Jika anak
tersebut mengabulkan keinginan orag tanya, maka hal seperti inilah yang
nantinya akan mematikan potensi yang dimiliki si anak karena anak terseut akan
menjalankan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya bahkan tidak sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki. Jika anak tersebut sudah menentukan cita –
citan dan cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai impian itu maka itulah
yang terbaik, karena dialah yang tahu akan potens yang dimilikinya serta
kempuan Untuk mencapai sebuah asa yang telah diimpikan pasti.
Saat ini pendidikan di
indonesia sudah tudak murni pendidikan, yang terjadi sekarang adalah disperiasi
kepentingan penguasa. Pendidikan yang ada di indonesia saat ini adalah pendidikan
berbasisi liberal dan kapital. Bagi kaum pendidikan liberal, tujuan jangka
panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan
sosial yang ada sekarang dengan cara mengajar setiap anak bagaimana cara
mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Dalam arti yang
lebih rinci, seorang pendidik liberalis menggap bahwa sekolah sebagai sebuah
lembaga pendidikan yang khususnya musti berupaya, pertama menyediakan informasi
dan keterampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara efektif,
kedua mengajarkan para siswa bagaimana cara memecahkan persoalan-persoalan
praktis melalui penerapan proses-proses penyelesaian masalah secara individual
maupun berkelompok, dengan berdasar kepada tatacara-tatacara ilmiah-rasional
bagi pengujian dari pembuktian gagasan.
Letak perbedaan antara
berbagai ideologi liberal adalah rerutama pada bagaimana mereka menghadapi
keterkaitan antara sekolah dengan masyarakat, yakni tafsiran-tafsiran macam apa
yang mereka berikan sebagai konsep relatifisme budaya dan demokrasi sosial.
Kaum liberal menggunakan pendekatan dengan cara psikologis ketika mengembangkan
sistem pendidikannya, dimana bahwa psikologis tetap menjadi landasan puncak
untuk sebagai pembuktian kebenaran atau kekeliruan klaim manapun terhadap
pengetahuan
Individu belajar mulai
dengan konsekuensi-konsekuensi emosional dari tindakan yang didasari oleh
keyakinan. Akan tetapi pendidikan di indonesia tidak menentukan dari tujuan
yang sejatinya pendidikan liberal, dimana nantinya jika pendidikan liberal
berjalan pada hakekat pendidikan indonesia akan melegetimasi dirinya sendiri
dengan pendidikan kapital.
Di indonesia sendiri
sistem pendidikan telah terbawa pada arus kapital, contoh nyata yang ada di
indonesia saat ini yakni dengan adanya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Sekolah yang di damba-dambakan masyarakat dengan alasan sistem pembelajaran
dengan menggunakan bahasa internasional (bahasa inggris). Identitas yang
sempurna dalam menopang pendidikan peserta didik. Penggunaan bahasa
internasional tersebut menjadi alasan bahwa SBI mejadi lembaga yang paling
unggul di dunia pendidikan.Selain identitas bahasa yang di pergunakan juga
berbagai teknologi dalam mejalankan pembelajaran di sana. Mengingat kembali
sejarah pendidikan di Indonesia yang hanya menggunakan alat tulis berupa kapur
tulis, saat ini telah menjadi penayangan slide. Secara akal sehat perubahan
tersebut mampu menjadikan para peserta didik lebih mengerti. akan tetapi
peserta didik semakin terbelenggu dengan adanya teknologi tersebut. peserta
didik semakin terbawa arus globalisasi yang mayoritas bersifat negatif
terhadapnya.
Pendidikan di
dalam sekolah SBI ini di percaya oleh masyarakat sebagai sekolah unggul dengan
sifat sistem pendidikan di atas. Istilah “bertaraf internasional’ seringkali
diterjemahkan sebagai “asing” atau “non Indonesia”. Secara universal berbagai
masalah yang terdapat dalam SBI ini dapat di lihat dari beberapa aspek.
Pertama, dengan
keadaan kurikulum yang bertaraf internasional ini. Sehingga timbul pertanyaan
apakah kurikulum SBI yang bertaraf internasional mampu mencetak para peserta
didik menjadi generasi penerus (yang benar-benar generasi penerus) bangsa? Atau
malah bahkan akan membahayakan indonesia sendiri dengan rintisan pemikiran yang
global, pemikiran para orang-orang barat (sosialis, liberalis, dsb.) sehingga
menjadikan indonesia sebagai negara yang sembraut (tidak damai).
Dari masalah ini
jelas sama seperti yang di katakan oleh Johnson yang mengatakan bahwa kurikulum
merupakan proses pengembangan, revisi, perawatan, dan pembaharuan yang bersifat
terus menerus dan bersiklus sepanjang kurikulum itu masih ada. Oleh karena itu
kurilulam tidak mungkin secara mentah di gunakan tanpa proses adaptasi apalagi
tanpa melibatkan seorang pendidik dan peserta didik itu sendiri sebagai proses
dari kurikulum itu sendiri.
Kedua, kurikulum
yang menuangkan sistem pendidikan internasional dengan metode pengajaran di
dalam sekolah. Metode pengajaran di SBI mau tidak mau harus mengikuti metode
pengajaran internasional. Seperti bahasa yang digunakan dalam pengajarannya
dengan menggunakan bahasa internasional (bahasa inggris). Sebuah kewajiban
logis yang harus di lakukan dengan alasan sekolah yang bertarafkan
internasional tersebut.
Metode
pengajaran yang di terapkan sering kali membuat para peserta didik kebingungan
dalam memahami pelajaran di dalamnya. Sering kali terdapat beberapa peserta
didik mengeluh akan metode dengan pengajaran yang menggunakan bahasa asing
tersebut. pertanyaan yang timbul selanjutnya apakah dengan metode pengajaran di
SBI tidak di mustahilkan akan menjadi sistem pembodohan (jika di lihat para
peserta didik tidak adanya pengertian terhadap bahasa yang di gunakan) dalam
pendidikan? Dan dengan bahasa yang di gunakan, mungkinkah para peserta didik
dapat memahami apa yang di terangkan, di jelaskan, jika realitanya para peserta
didik belum mampu sepenuhnya menguasai bahasa nasional dengan fasih dan benar
(dalam konteks EYD)?.
Ketiga, alasan
logis jika fasilitas di SBI ini mengikuti arus globalisasi. Fasilitas yang
memadai merupakan ciri bahwa sekolah tersebut telah berkembang atau bahkan
maju. Berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya dengan fasilitas serba cukup atau
bahkan kurang memadai, sehingga sistem pendidikan dan pengajaran yang di
terapkan SBI sering melibatkan alat-alat elektro. Seperti misalkan komputer
atau laptop, seorang guru sering menggunakan atau malah bahkan tidak pernah
terlepas dengan benda tersebut dalam menunjang pendidikan di sana.
Keempat,
pengeluaran biaya yang di gunakan demi menunjang pendidikan. Sebagai sekolah
unggulan (di Idonesia) tidak di pungkiri pula pengeluaran biaya yang cukup
besar. Berbagai kebutuhan di perleh dari biaya peserta didik (SPP). Kebutuhan
yang di perlukan bersifat, maka tidak heran lagi jika SPP yang di keluarkan
oleh orang tua pesert didik juga besar.
Peserta didik di
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) mayoritas adalah anak dari orang yang
mampu (seperti halnya pejabat negara ataupun kantoran). Dalam artian tidak
semua orang dapat menempatkan anaknya sebagai peserta didik di SBI. Pertanyaan
selanjutnya bagaimana dengan anak yang mempunyai semangat tinggih namun minim
ekonomi? Pentaskah SBI masih di akui di indonesia, sedangkan tidak adanya
keadilan pendidikan bagi masyarakat indonesia, kalau kita mengingat kembali
pada pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, yang terbaik
adalah kita semua melakukan revosilioner pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar