Jumat, 26 September 2014

PENDIDIKAN BUKAN PENDIDIKAN

PENDIDIKAN BUKAN PEDIDIKAN
            Pada era globalisasi dan modernsasi yang ada di waktu kita sekarang, kita tak bisa keluar dari rana tersebut, yang ada kita berjalan di tengah-tengah perubahan trsebut. Ketika kita berbicara tentang globalisasi dan modernisasi kita bisa menyimpilkan berbagai pandangan dengan sudut yang berbeda.
            Globalisasi adalah suatu paham tentang perubahan rana yang terkait dengan semua aspek kehidupan. Globalisasi ini terjadi ketika sebuah nilai dan norma yang ada di lingkungan masyarakat telah hilang dan sudah tidak ada sosialisasi yang transparan tentang sebuah nilai dan norma yang sesunggunya.
            Hal ini akan dialami oleh semua kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan yang ada dalam sekitarnya. Sebuah perubahan yang seharusnya tidak terjadi, karena dengan perubahan tersebut telah menimbulkan dampak yang disasosiatif dan disfungsi. Ketika sesuatu masalah bisa merusak tatanan yang ada dalam masyarakat maka dalam masyarakat tersebut telah mengalami masa transisi nilai dan norma.
            Dimana ketika nilai dan norma itu mengalami masa transisi maka masyarakat yang berada dalam norma dan nilai tersebut automatis telah mengalami masa transisi juga. Dimana ketika masyarakat tersebut merasa ada perubahan maka mobilitas terjadi dalam masyarakat tersebut.
            Ketika berbicara akan mobilitas maka kita teringat hal dasar pada apa itu sosiologi?. Mobilitas sosial didefinisikan sebuah perubahan status sosial yang dialami masyarakat tertentu. Mobilitas sosial yang melekat pada masyarakat terjadi karena tingkat perekonomian, pendidikan dan kekuasaan yang mereka sandang di dalam lingkup tertentu.
            Mobilitas tersebut akan mengakibatkan akan adanya strata-strata dalam masyarakat yang mengalami perubahan sosial. Berbicara stratifikasi sosial tidak lepas dengan struktur fungsional milik parsons. Menurut parsons masyarakat merupakan sistem social yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap perubahan yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem social, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini cenderung untu melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang laindan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau sistem yang lain dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem social. Secara ekstrim penganut teoriini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dengan demikian pada tingkat tertentu umpanya peperangan, ketidaksamaan social, perbedaan ras bahkan kemiskinan “diperlukan” dalam suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kaiau terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme structural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.
            Ada tiga hal yang berkenanan dengan perubahan sosial, pertama, bagaimana ide-ide mempengaruhi perubahan-perubahan sosial. Kedua,bagaimana tokoh-tokoh besar dalam sejarah menimbulkan perubahan besar di dalam kalangan masyarakat. Ketiga, sejauh mana peran gerakan-gerakan sosial dan revolusi menimbulkan perubahan sturktur sosial dan norma-norma sosial.
            Berbicara perubahan sosial yang di pengaruhi karena ide-ide yang ada dalam masyarakat dan menimbulkan sebuah ideologi-ideologi yang kuat, dengan ideologi-ideologi tersebut akan memunculkan tingkat intelektualitas yang tinggi di masyarakat. Intelektualitas yang muncul akan membawa masyarakat merubah sistem sosial mereka, akan tetapi intelektualitas, ide-ide dan ideologi-ideologi tidak akan muncul dengan sendirinya akan tetapi harus menggunakan alat bantu atau alat produksi yaitu sebuah institusi pendidikan.
            Berbicara tentang pendidikan, pendidikan adalah salah satu utama dari beberapa aspek tentang akan adanya perubahan status sosial masyarakat. Pendidikan adalah sebuah alat reproduksi tentang dimana masyarakat akan mengalami perubahan di awali dengan perubahan cara berfikir dan ide-ide yang terkonstruk ketika mereka berada dalam pendidikan yang sejati. Jika kita berbicara akan pendidikan kita harus mengerti makna akan pendidikan tersebut, paulo freirre memaknai pendidikan dalam bukunya ilmu politik pendidikan adalah pendidikan adalah humanisme dimana definisi sederhana yang menyakatakan pendidikan adalah alat produksi untuk memanusiakan manusia.
            Banyak pemikiran yang ada dalam otak kita, pendidikan apa yang bisa memanusiakan manusia?, sebuah pertanyaan muncul dalam pikiran kita, apakah manusia ini belum sutuhnya menjadi manusia?
            Pendidikan yang didefinisikan oleh paulo freire adalah pendidikan humanisme. Humanisme di bangun oleh freirre melalui filsafat pendidikan yang di tulis, dimana humanisasi adalah pilihan mutlak. Humanisasi adalah salah satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi disepanjang sejarah peradaban masyarakat dan tetap kemungkinan menjadi ontologis di masa mendatang.
            Maka tugas pendidikan yang sejatinya harus merubah meansheet para masyarakat yang telah mengalami masa transisi moral pendidikan yang ada saat ini. Dimana seharusnya pendidikan berjalan seimbang dengan tatanan norma-norma masyarakat yang ada disekitar. Institusim pendidikan harus memahami dan belajar akan seberapa besar arti dari nilai kepribadian.
            Pendidikan harus mengajarkan dimana seharusnya manusia mengetahui dirinya. Pendidikan yang sejatinya adalah membawa hekekat manusia untuk mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya dengan bekal pikiran dan tindakan yang akan dilakukan manusia sehinnga manusia tersebut bisa merubah dunia dan realitas dengan satu cara yakni pendidikan yang sejati.
           
Begitu juga dengan sistem pendidikan yang di anggapnya sebagai salah satu tujuan yang tidak manusia (dehumanisasi), karena dalam sistem pendidikan terdapat adanya pemberian suatu ilmu pengetahuan yang dengan sengaja di cekoki oleh guru dalam memberikan pengajaran yang ada. Pendidikan yang ada saat ini seakan-akan gambaran dari penindasan dan penjara otak bagi para peserta didik. Dimana seorang peserta didik hanya sebatas menerima atau menjadi objek dari sistem pendidikan yang ada. Sehingga kereatifitas, imajinasi, dan skill yang terdapat dalam diri peserta didik menjadi tidak berkembang dan beku.
Bagi Freire pendidikan yang seperti ini (seorang guru yang memberikan ilmu pengetahuan dengan sistem “ceramah”) hanya membuat peserta didik dapat menafsirkan kejadian yang mereka alami. Tidak mampu merubah realitas yang terjadi terhadap dirinya sendiri. Seperti apa yang di katakan Freire bahwasanya manusia bukan sebagai objek realitas kehidupan, akan tetapi sebagai subjek untuk merubah realitas kehidupan yang terjadi. Dalam pendidikan yang saat ini seorang peserta didik hanya manjadi wadah, penerima, tempat menampung segala kemauan seorang guru, Seperti halnya menghafal pelajaran. Sehingga peserta didik merupakan objek kekuasaan sang guru dan tidak mampu berfikir kreatif dalam merubah realitas hidupnya.
Paulo Freire menginginkan sistem pendidikan yang ada saat ini tidak mengenal akan namanya kekuasaan. Di mana sang guru sebagai penguasa dan para peserta didik di anggapnya sebagai korban dari kekuasaan tersebut. Dia menginginkan peserta didik sebagai subjek dari dirinya sendiri dalam belajar. Guru yang di katakan subjek dalam pendidikan harusnya memberikan ruang bagi peserta didik untuk belajar berfikir sendiri, memberi kebebasan berfikir terhadap peserta didik tersebut.
            Manusia berbeda dengan hewan, manusia juga memiliki naluri akan tetapi manusia dengan kodrati yang memiliki kepribadian, eksistensi yang mengartikan bahwa manusia sesunggunya tidak memiliki batasan untuk berfikir dengan idealisme yang mereka miliki. Disini pendidikan sangat berperan penting untuk memvisualitaskan tingkat eksisitensi yang seharusnya manusia miliki ketika mereka sudah memasuki rana pendidikan.
Eksistensialisme, apa yang terbesit dalam benak kita ketika kita  pertama kali mendengar kata eksistensialisme? Kebanyakan orang akan berfikir bahwa eksistensialisme itu sama dengan kata eksis yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari yang mana artinya itu selalu ingin “nampang”, selalu aktif agar terlihat oleh orang lain. Namun ternyata eksistensialisme disini tidak sama dengan kata eksis yang kita maksudkan. Eksistensialisme yang dimaksud disini merupakan suatu paham/aliran filsafat tentang suatu kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan disini yaitu kebebasan manusia untuk mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki untuk diterapkan dalam kehidupannya. Manusia bebas memilih ataupun menentukan tentang hidupnya sendiri, entah mau dibawa kemana  hidupnya itu, hanya individu itu sendiri  yang tahu. Manusia disini dianggap sebgai sesuatu yang luar biasa yang tahu segala sesuatu tentang dirinya, hanya manusialah yang dianggap mampu bereksistensi dalam dunia ini karena manusia tahu tentang baik,buruk dan tahu mana yang salah dan mana yang benar walaupun menurut paham ini salah dan benar ini masih bersifat relatif.
Berbicara tentang eksistensialisme, manusia bebas untuk memilih serta memahami semesta beserta isinya ini menurut versinya masing – masing. Manusia bebas menafsirkan bagaimana bentuk bintang, bagaimana ukurannya entah itu besar ataupun kecil semua itu tergantung dari masing-masing individu dan dari sudut mana ia memandang. Manusia bebas  untuk mengeksplorasi dirinya tanpa dipengaruhi oleh campur tangan pihak lain selain dirinya sendiri. Kebebasan itu dapat diwujudkan salah satunya dengan menciptakan sesuatu apapun itu bentuknya sesuai dengan kehendaknya sebagai wujud kemampuan yang dimilikinya dan dapay diakui oleh orang lain.
Ajaran eksistensialisme ini mengajarkan manusia untuk mandiri dan bertanggung jawab dalam kehidupannya di dunia ini. Misalnya dalam mengambil suatu keputusan dimana individu itu dihadapkan dengan berbagai masalah dan berbagai pilihan  yang harus diambil sedangkan dalam pengambilan keputusan itu tidak boleh ada intervensi dari pihak lain. Hal seperti inilah yang akhirnya memaksa manusia berfikir keras untuk menentukan pilihan – pilihan mana yang akan diambil dimana dalam kehidupan ini berkaitan dengan moral dan tingkah laku manusia. Perjuangan para eksistensialis pun tidak berhenti sampai pengambilan keputusan. Mereka harus bertanggung jawab dan memperjuangkan atas pilihan – pilhan yang telah dibuat dalam kehidupannya.
Sebenarnya seperti itu pulalah gambaran eksistensialisme pendidikan  yang seharusnya terjadi di Indonesia. Jika kita mengacu pada ajaran eksistensialisme sebenarnya guru tidak mempunyai hak untuk memaksakan kehendaknya kepada muruidnya. Guru disini berperan sebagai media belajar peserta didik dimana guru memberikan peluang pendidikan kepada anak didiknya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Guru juga harus menggunakan trik – trik pengajaran dan pembelajaran berupa aktivitas yang berpusatkan pada anak didiknya. Untuk itu peserta didik dituntut untuk lebih aktif dalam proses pembelajran agar peserta didik dapat memaksimalkan peluang yang telah diberikan. Contoh dalam  proses belajar mengajar, guru tidak mendominasi untuk menentukan materi apa yang akan diajarkan kepada anak didiknya. Guru terlebih dahulu memberikan pengarahan/pilihan materi yang akan diajarkan dan selebihnya guru menyerahkan kepada muridnya untuk memutuskan materi apa yang akan dipelajari. Dari contoh kasus di atas dapat dikatakan bahwa guru telah menerapkan filsafat eksistensialisme dalam proses pembelajaran dimana guru telah memberikan kebebasan kepada peserta didiknya untuk menentukan materi apa yang akan dipelajari.
Eksistensialisme remaja dalam mencapai sebuah asa sebenarnya juga sama dengan eksistensialisme dalam dunia pendidikan. Disini para remaja mempunyai kebebasan untuk menentukan citi-cita dan cara – cara yang digunakan untuk mencapainya. Sudah jelas dikatakan dalam UUD 1945 pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia dimana manusia itu bebas untuk malakukan sesuatu tanpa ada paksaan dari orang lain termasuk orang tuanya. Tetapi dalam kenyataannya sering  kita jumpai perselisihan antara si anak dan orang tuanya yang mempermasalahkan tentang cita-cita yang ingin dicapai anaknya. Banyak orang tua yang menitipkan cita-citanya kepada anaknya manakala anaknya akan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi (kuliah) tanpa melihat sejauh mana kemampuan anaknya karena orang tuanya merasa mampu dalam hal finansial. Jika anak tersebut mengabulkan keinginan orag tanya, maka hal seperti inilah yang nantinya akan mematikan potensi yang dimiliki si anak karena anak terseut akan menjalankan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya bahkan tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Jika anak tersebut sudah menentukan cita – citan dan cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai impian itu maka itulah yang terbaik, karena dialah yang tahu akan potens yang dimilikinya serta kempuan Untuk mencapai sebuah asa yang telah diimpikan pasti.
Saat ini pendidikan di indonesia sudah tudak murni pendidikan, yang terjadi sekarang adalah disperiasi kepentingan penguasa. Pendidikan yang ada di indonesia saat ini adalah pendidikan berbasisi liberal dan kapital. Bagi kaum pendidikan liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan sosial yang ada sekarang dengan cara mengajar setiap anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Dalam arti yang lebih rinci, seorang pendidik liberalis menggap bahwa sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang khususnya musti berupaya, pertama menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara efektif, kedua mengajarkan para siswa bagaimana cara memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun berkelompok, dengan berdasar kepada tatacara-tatacara ilmiah-rasional bagi pengujian dari pembuktian gagasan.
Letak perbedaan antara berbagai ideologi liberal adalah rerutama pada bagaimana mereka menghadapi keterkaitan antara sekolah dengan masyarakat, yakni tafsiran-tafsiran macam apa yang mereka berikan sebagai konsep relatifisme budaya dan demokrasi sosial. Kaum liberal menggunakan pendekatan dengan cara psikologis ketika mengembangkan sistem pendidikannya, dimana bahwa psikologis tetap menjadi landasan puncak untuk sebagai pembuktian kebenaran atau kekeliruan klaim manapun terhadap pengetahuan
Individu belajar mulai dengan konsekuensi-konsekuensi emosional dari tindakan yang didasari oleh keyakinan. Akan tetapi pendidikan di indonesia tidak menentukan dari tujuan yang sejatinya pendidikan liberal, dimana nantinya jika pendidikan liberal berjalan pada hakekat pendidikan indonesia akan melegetimasi dirinya sendiri dengan pendidikan kapital.
Di indonesia sendiri sistem pendidikan telah terbawa pada arus kapital, contoh nyata yang ada di indonesia saat ini yakni dengan adanya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sekolah yang di damba-dambakan masyarakat dengan alasan sistem pembelajaran dengan menggunakan bahasa internasional (bahasa inggris). Identitas yang sempurna dalam menopang pendidikan peserta didik. Penggunaan bahasa internasional tersebut menjadi alasan bahwa SBI mejadi lembaga yang paling unggul di dunia pendidikan.Selain identitas bahasa yang di pergunakan juga berbagai teknologi dalam mejalankan pembelajaran di sana. Mengingat kembali sejarah pendidikan di Indonesia yang hanya menggunakan alat tulis berupa kapur tulis, saat ini telah menjadi penayangan slide. Secara akal sehat perubahan tersebut mampu menjadikan para peserta didik lebih mengerti. akan tetapi peserta didik semakin terbelenggu dengan adanya teknologi tersebut. peserta didik semakin terbawa arus globalisasi yang mayoritas bersifat negatif terhadapnya.
Pendidikan di dalam sekolah SBI ini di percaya oleh masyarakat sebagai sekolah unggul dengan sifat sistem pendidikan di atas. Istilah “bertaraf internasional’ seringkali diterjemahkan sebagai “asing” atau “non Indonesia”. Secara universal berbagai masalah yang terdapat dalam SBI ini dapat di lihat dari beberapa aspek.
Pertama, dengan keadaan kurikulum yang bertaraf internasional ini. Sehingga timbul pertanyaan apakah kurikulum SBI yang bertaraf internasional mampu mencetak para peserta didik menjadi generasi penerus (yang benar-benar generasi penerus) bangsa? Atau malah bahkan akan membahayakan indonesia sendiri dengan rintisan pemikiran yang global, pemikiran para orang-orang barat (sosialis, liberalis, dsb.) sehingga menjadikan indonesia sebagai negara yang sembraut (tidak damai).
Dari masalah ini jelas sama seperti yang di katakan oleh Johnson yang mengatakan bahwa kurikulum merupakan proses pengembangan, revisi, perawatan, dan pembaharuan yang bersifat terus menerus dan bersiklus sepanjang kurikulum itu masih ada. Oleh karena itu kurilulam tidak mungkin secara mentah di gunakan tanpa proses adaptasi apalagi tanpa melibatkan seorang pendidik dan peserta didik itu sendiri sebagai proses dari kurikulum itu sendiri.
Kedua, kurikulum yang menuangkan sistem pendidikan internasional dengan metode pengajaran di dalam sekolah. Metode pengajaran di SBI mau tidak mau harus mengikuti metode pengajaran internasional. Seperti bahasa yang digunakan dalam pengajarannya dengan menggunakan bahasa internasional (bahasa inggris). Sebuah kewajiban logis yang harus di lakukan dengan alasan sekolah yang bertarafkan internasional tersebut.
Metode pengajaran yang di terapkan sering kali membuat para peserta didik kebingungan dalam memahami pelajaran di dalamnya. Sering kali terdapat beberapa peserta didik mengeluh akan metode dengan pengajaran yang menggunakan bahasa asing tersebut. pertanyaan yang timbul selanjutnya apakah dengan metode pengajaran di SBI tidak di mustahilkan akan menjadi sistem pembodohan (jika di lihat para peserta didik tidak adanya pengertian terhadap bahasa yang di gunakan) dalam pendidikan? Dan dengan bahasa yang di gunakan, mungkinkah para peserta didik dapat memahami apa yang di terangkan, di jelaskan, jika realitanya para peserta didik belum mampu sepenuhnya menguasai bahasa nasional dengan fasih dan benar (dalam konteks EYD)?.
Ketiga, alasan logis jika fasilitas di SBI ini mengikuti arus globalisasi. Fasilitas yang memadai merupakan ciri bahwa sekolah tersebut telah berkembang atau bahkan maju. Berbeda dengan sekolah-sekolah lainnya dengan fasilitas serba cukup atau bahkan kurang memadai, sehingga sistem pendidikan dan pengajaran yang di terapkan SBI sering melibatkan alat-alat elektro. Seperti misalkan komputer atau laptop, seorang guru sering menggunakan atau malah bahkan tidak pernah terlepas dengan benda tersebut dalam menunjang pendidikan di sana.
Keempat, pengeluaran biaya yang di gunakan demi menunjang pendidikan. Sebagai sekolah unggulan (di Idonesia) tidak di pungkiri pula pengeluaran biaya yang cukup besar. Berbagai kebutuhan di perleh dari biaya peserta didik (SPP). Kebutuhan yang di perlukan bersifat, maka tidak heran lagi jika SPP yang di keluarkan oleh orang tua pesert didik juga besar.

Peserta didik di Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) mayoritas adalah anak dari orang yang mampu (seperti halnya pejabat negara ataupun kantoran). Dalam artian tidak semua orang dapat menempatkan anaknya sebagai peserta didik di SBI. Pertanyaan selanjutnya bagaimana dengan anak yang mempunyai semangat tinggih namun minim ekonomi? Pentaskah SBI masih di akui di indonesia, sedangkan tidak adanya keadilan pendidikan bagi masyarakat indonesia, kalau kita mengingat kembali pada pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, yang terbaik adalah kita semua melakukan revosilioner pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar